Halaman

Blog ini dibuat untuk kepentingan tugas perkuliahan Relasi Publik Maya, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra

Minggu, 20 Mei 2012

Pulau Marsegu



Pulau Marsegu terletak di bagian barat Pulau Seram (Nusa Ina / Pulau Ibu) yang terkenal memiliki Taman Nasional Manusela. Secara Administratif pulau Marsegu termasuk dalam Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Pulau ini diberikan nama oleh masyarakat sebagai “Pulau Marsegu” karena mempunyai satwa Kelelawar yang begitu banyak. Kata Marsegu berasal dari bahasa daerah yang berarti Kelelawar. Dalam pikiran pasti terlintas seperti tokoh menyeramkan yaitu “Drakula” penghisap darah, manusia yang menjelma menjadi kelelawar. Tapi pulau ini tidak menyeramkan bahkan berbagai keindahan dapat ditemui disana, sebagai tempat rekreasi dan tempat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak perlu diragukan lagi.

Pteropus vampirus

 
Selain Kelelawar dapat ditemui juga satwa-satwa yang dilindungi seperti Burung Gosong Megaphodius reinwardtii (Maleo) dan Kepiting Kelapa (Birgus latro) atau yang bahasa daerahnya disebut "kepiting kenari". Masih banyak satwa burung lain yang menjadikan pulau ini sebagai habitat makan, bermain dan tidur.

Birgus latro


Pulau Marsegu atau pulau kelelawar merupakan Kawasan hutan lindung yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10327/Kpts-II/2002, tanggal 30 Desember 2002, luasnya 240,20 Ha. Wilayah lautnya merupakan Taman Wisata Alam Laut seluas 10.000 Ha ditetapkan dengan SK Menhutbun No. 114/Kpts-II/1999, tanggal 05 Maret 1999. Potensi sumberdaya alam laut yang cukup besar, terumbu karang beraneka warna yang dapat disaksikan keindahannya. Berbagai corak kehidupan laut dengan ikan karang yang beraneka ragam bentuk dan ukuran.

Terumbu Karang

Untuk yang gemar makanan laut (seafood) dapat menikmati sepuasnya di pulau ini. Mau memancing sendiri atau dapat juga membeli dari masyarakat di sekitar pulau ini yang penghidupannya bersumber dari laut.

Ikan Karang

Di Pulau Marsegu dapat ditemukan berbagai komunitas hutan diantaranya: Hutan Sekunder yang merupakan hasil tindakan dari masyarakat sebagai lahan untuk berkebun. Komunitas hutan sekunder ini merupakan hutan yang tumbuh di atas batu karang, secara bertahap telah terjadi proses pelapukan. Dahulunya daerah ini merupakan Hutan Primer dengan diameter pohon lebih dari 100 cm, tetapi telah ditebang dan dijadikan lahan untuk menanam umbi-umbian sebagai bahan makanan.

Hutan Sekunder

Setengah dari Pulau ini merupakan daerah hutan mangrove dengan jenis-jenis mangrove yang juga terdapat pada daerah lain, seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Brugueira gymnorrhiza, Brugueira sexangula, Ceriops tagal, Xylocarpus mollucensis, Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Lumnitzera littorea, Aegiceras corniculatum, Excoecaria agallocha, Pemphis acidula dan Scyphiphora hydrophyllacea.

Zone terluar dari daerah mangrove adalah Rhizophora mucronata kemudian bercampur dengan Rhizophora apiculata dan dibagian tengah adalah Brugueira gymnorrhiza, Brugueira sexangula, Ceriops tagal, Xylocarpus mollucensis dan Xylocarpus granatum.

Di bagian timur dari Pulau Marsegu terdapat vegetasi hutan pantai yang mempunyai pantai pasir putih sepanjang 1600 meter. Jenis vegetasi yang terdapat pada zone ini adalah Cordia subcordata, Pongamia pinnata, Terminalia catappa dan Baringtonia asiatica. Di bagian utara pantai pasir putih terdapat zone Ipomea pescaprae yang didominasi oleh rumput angin (Spinifex littoreus) dan Katang-katang (Ipomea pescaprae). Lokasi ini merupakan tempat wisata yang menarik untuk menikmati pemandangan laut serta menghirup udara pantai yang segar.

Pantai Pasir Putih

Untuk yang mau berkemah atau tinggal beberapa hari di pulau ini, tersedia 2 (dua) buah sumur sebagai sumber air tawar yang biasanya juga dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk air minum, mandi dan cuci.

Aksesibilitas ke Pulau Marsegu dari kota Ambon sebagai Ibu Kota provinsi dapat ditempuh melalui rute:

·         Ambon – Hunimua. (Jalur darat)
·         Hunimua – Waipirit (Pulau Seram) menggunakan Ferry (1,5 jam)
·         Waipirit – Piru – Pelita Jaya. (Jalur darat ± 56 km)
Pelita Jaya – Pulau Marsegu. (Jalur laut ± 5 km )


dikutip dari :http://liburan.info/content/view/738/43/lang,indonesian/

Jumat, 18 Mei 2012

TUGU AMBROINA



Pulau Seram dan beberapa pulau kecil disekitarnya  tidak hanya terkenal   dengan sumber  daya alamnya, namun juga menyimpan banyak situs sejarah. Tetapi sebagian besar  situs sejarah itu belum sepenuhnya  dimaksimalkan pengelolaanya untuk menjadi tempat-tempat wisata potensial.
Seperti Tugu Amroina di Dusun Tiang Bendera, Kecamatan Waisala, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang merupakan salah situs sejarah peninggalan Belanda sekira 300 tahun lalu, belum mendapat  perhatian Pemerintah atau stakeholder di Maluku maupun SBB sendiri.
Tugu Ambroina menurut cerita masyarakat setempat merupakan salah satu peninggalan penjajah Belanda yang ada di Pulau Kelang. Pulau Kelang berada di ujung barat  Pulau Seram,  tepatnya satu gugus dengan Pulau Manipa, Pulau Babi, dan Pulau Buano.
Tugu Ambroina memiliki tinggi sekira 4 meter, berbentuk segi empat. Lebar masing-masing sisinya sekira 1,2 meter.  Di salah satu sisinya tertulis nama Ambroina VOC.   Disamping tulisan tersebut juga tertulis angka 1792 yang diperkirakan merupakan tahun selesai pembangunan tugu tersebut.
Description: http://info.kapetseram.com/wp-content/uploads/2011/08/tugu-ambroina.jpg
Tugu Ambroina berdiri kokoh di atas sebuah batu besar yang  berdiameter sekira 60-70 meter dan tinggi 20-30 meter dari atas permukaan laut. Posisi batu tersebut  di tepi pantai atau tepatnya berada di pantai Dusun Tiang Bendera. Sebuah dusun yang   berpenduduk sekitar 3.000 jiwa.
Menurut cerita yang ada, Tugu Ambroina menjadi bukti penguasaan penjajah Belanda dengan VOC-nya di tanah penghasil rempah-rempah ini. Namun versi lain        menyebutkan bahwa tugu tersebut dibangun sebagai pertanda kemenangan Belanda setelah menaklukan negeri-negeri yang ada di Hua Mual.
Description: http://info.kapetseram.com/wp-content/uploads/2011/08/tugu-ambroina1.jpg
Selain itu juga disebutkan bahwa tugu tersebut dibangun Belanda sebagai alat penunjuk atas penyimpanan harta karung di Pulau Kelang.  Namun semua cerita tersebut belum dapat dibuktikan atau terpecahkan hingga era sekarang.
Namun terlepas dari semua cerita sejarah dan mitos soal keberadaan tugu tersebut,  Tugu Ambroina memiliki nilai sejarah dan berpotensi menjadi tempat wisata sejarah di SBB.
Bagi mereka yang ingin melihat secara dekat tugu tersebut dapat menjangkaunya dengan transportasi laut melalui beberapa jalur atau titik. Dari Kota Ambon dapat melalui jalur speed boat di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Jarak tempuh sekitar 2,5-3 jam  dengan biaya tiket per orang Rp. 100 ribu.  Atau  juga  melalui  transportasi kapal motor  tradisional di samping Pasar Arumbai, Kota  Ambon dengan tiket Rp. 50 ribu.
Sedangkan dari Kota Piru harus melewati perjalanan darat ke Desa waisala, selanjutnya menyewa kendaraan laut masyarakat setempat yang nilai sewanya berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp. 500.000. Jarak tempuhnya sekira 1,5-2 jam dengan speed boat. (HW)


dikutip dari : http://info.kapetseram.com/?p=160

Rabu, 16 Mei 2012

Papeda, Makanan Khas Maluku


Sagu (Metroxylon sp) habitatnya di daerah rawa, hasil hutan non kayu yang sejak dari dulu sudah dimanfaatkan sebagai sumber makanan. Di Maluku, Sagu tumbuh dengan sendirinya hutan-hutan rawa, pada daerah dataran rendah tumbuh di belakang hutan mangrove.
Menurut Flach and Schuiling (1991) kandungan Nutrisi (g) yang terdapat pada batang sagu adalah N = 590, P = 170, K = 1700, Ca = 860 dan Mg = 350. Pada saat pengolahan di lapangan nutrisi ini banyak hilang dan kembali ke tanah tempat tumbuhnya.
Sebagai makanan pokok orang Maluku, sagu dijadikan “papeda” untuk dimakan dengan “ikan kuah”. Kalo menghidangkan papeda tanpa “ikan kuah” rasanya tidak lengkap.
papeda fish
Pada saat ini daerah perkotaan di Maluku orang sudah lebih banyak mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan sehari-hari. Sagu yang dibuat “papeda” sudah jarang ditemui hanya pada saat-saat tertentu atau acara khusus saja “Papeda” disajikan bersama “Ikan kuah kuning”. Tidak semua rumah makan di kota Ambon menyediakan menu ini hanya pada rumah makan tertentu dan tidak banyak tersedia.
bale papeda
Untuk mengambil papeda dari tempatnya “bale papeda” menggunakan “gata-gata” (terbuat dari bamboo) agar bisa disantap dan ada orang tertentu yang akan menaruh / bale papeda ke piring yang sudah di ada kuah ikannya.
papeda kuah ikan
Papeda dimakan tidak memakai sendok tetapi disantap langsung dari piring, bagi yang belum terbiasa, silahkan memakai sendok untuk memasukannya ke dalam mulut. Agar mulut tidak belepotan.
makanan ambon
Selain dengan “kuah ikan”, ada menu lain juga yang dihidangkan, yang akrab dengan sebutan “makanan ambon”. Yaitu : Kasbi (singkong) Rebus, Acar, Sayur Jantung Pisang, Sayur Daun Kasbi, Ikan Bakar dan Colo-colo.
Makanan-makanan ini tidak mengandung kolesterol, jadi sehat untuk dikonsumsi dengan kebutuhan serat yang berimbang. Untuk yang sedang diet disarankan untuk mengkonsumsi makanan seperti ini agar tetap lansing. Apabila ditambah dengan berolahraga yang teratur maka hidup menjadi sehat.
Sebagai panganan, sagu diolah kemudian dibakar dijadikan makanan “Sagu gula”, untuk dihidangkan bersama Kopi atau “Teh gula” (teh manis), saat pagi hari atau sore hari.
Gambar-gambar ini diambil pada saat Acara pelatihan dan penanaman MangroveKewang Haruku di Desa Haruku, Pulau Haruku, Provinsi Maluku.


Selasa, 15 Mei 2012

Bambu Gila




MENDENGAR 'Bambu Gila' mungkin pikiran Anda akan teralih kepada sebuah benda bernama bambu. Tidak sepenuhnya salah, karena tarian berasal dari Maluku ini juga menggunakan medium bambu.

Bambu Gila merupakansebuah tarian yang mengandung unsur mistis, mantan, dan kemenyan. Sebanyak tujuh pria kuat bertarung melawan sebatang bambu dengan panjang sekitar 2,5 meter dan berdiameter 8 cm.

Ini merupakan pemandangan menarik, saat menyaksikan ini Anda akan merasakan pengalaman supranatural yang mungkin jarang atau belum pernah Anda rasakan sebelumnya.

Tarian ini juga dikenal dengan nama Buluh (bambu) Gila atau Bara Suwen. Pertunjukan ini bisa ditemui di dua desa yaitu Desa Liang, kecamatan Salahatu, dan Desa Mamala, kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Di Provinsi Maluku Utara, atraksi yang bernuansa mistis ini dapat dijumpai di beberapa daerah di kota Ternate dan sekitarnya.

Untuk memulai pertunjukan ini sang pawang membakar kemenyan di dalam tempurung kelapa sambil membaca mantra dalam ‘bahasa tanah’ yang merupakan salah satu bahasa tradisional Maluku. Kemudian asap kemenyan dihembuskan pada batang bambu yang akan digunakan. Jika menggunakan jahe maka itu dikunyah oleh pawang sambil membacakan mantra lalu disemburkan ke bambu.

Fungsi kemenyan atau jahe ini untuk memanggil roh para leluhur sehingga memberikan kekuatan mistis kepada bambu tersebut. Roh-roh inilah yang membuat batang bambu seakan-akan menggila atau terguncang-guncang dan semakin lama semakin kencang serta sulit untuk dikendalikan.

Dalam berbagai atraksi yang melibatkan hawa mistis, manusialah yang dirasuki oleh roh mistis tetapi dalam tarian ini roh mistis yang dipanggil dialihkan ke dalam bambu. Ketika pawang membacakan mantra berulang-ulang, si pawang lantas berteriak “gila, gila, gila!” Atraksi bambu gila pun dimulai. Alunan musik mulai dimainkan ketika tujuh pria yang memegang bambu mulai merasakan guncangan bambu gila.

Bambu terlihat bergerak sendiri ketika pawang menghembuskan asap dan menyemburkan jahe ke batang bambu. Para pria yang memeluk bambu mulai mengeluarkan tenaga mereka untuk mengendalikan kekuatan guncangan bambu. Ketika irama musik mulai dipercepat, bambu bertambah berat dan menari dengan kekuatan yang ada di dalamnya. Atraksi bambu gila berakhir dengan jatuh pingsannya para pemain di arena pertunjukan. Hal yang unik dari pertunjukan ini, kekuatan mistis bambu gila tidak akan hilang begitu saja sebelum diberi makan api melalui kertas yang dibakar.

Bambu yang digunakan merupakan bambu lokal. Namun, proses memilih dan memotong bambu tidak sembarangan, karena dibutuhkan perlakuan khusus. Pawang terlebih dahulu meminta izin dari roh yang menghuni hutan bambu tersebut.

Bambu kemudian dipotong dengan melakukan adat tradisional. Bambu dibersihkan dan dicuci dengan minyak kelapa kemudian dihiasi dengan kain pada setiap ujungnya. Dahulu, bambu langsung diambil dari Gunung Gamalama, gunung api di Ternate, Maluku Utara. Saat ini, tarian bambu gila dipelajari dan dimainkan di luar pulau Maluku.

Tradisi tari bambu gila diyakini sudah lama dimulai sebelum masa Islam dan Kristen masuk ke kepulauan ini. Saat ini tari berbau mistis ini hanya dipentaskan di beberapa desa kecil. Melihat tarian ini merupakan pengalaman spiritual yang unik. Lantunan mantra dari pawang dan tabuhan tifa menciptakan pertunjukan yang tidak bisa Anda temukan ditempat lain di dunia. Apalagi jika Anda ikut menari dengan bambu gila, membuat pengalaman ini sulit untuk Anda lupakan.
(uky)

Sabtu, 12 Mei 2012

Pulau Karang Bais


Description: http://www.serambagiantimurkab.go.id/imgpopup.asp?id=96
Aktifitas wisata di Kota Minyak Bula mencapai klimaksnya manakala wisatawan mengunjungi Pulau Karang Bais. Pulau ini oleh masyarakat Bula disebut sebagai pulau sejuta pesona. Pulau tanpa pohon dan penghuni. Pesonanya terletak pada keindahan potensi bawah lautnya, mulai dari hamparan beragam bentuk terumbu karang, ratusan jenis ikan berbagai bentuk, ukuran dan warna. Pulau Karang Bais, dapat dijangkau dengan menggunakan Speed Boat dari pantai Bula hanya dalam tempo ± 30 menit.

Rabu, 09 Mei 2012

Danau Sole







Tari Orlapei




Tarian ini adalah tarian penyambutan para tamu kehormatan pada acara-acara Negeri/Desa di Maluku Tengah. Pada umumnya menggambarkan suasana hati yang gembira dari seluruh masyarakat terhadap kedatangan tamu kehormatan di Negeri/Desa-nya, dan menjadi ungkapan Selamat Datang. Kombinasi pola lantai dan gerak serta rithem musik lebih memperkuat ungkapan betapa seluruh masyarakat Negeri/Desa setempat merasa sangat senang dengan hadirnya tamu kehormatan di Negeri/Desa mereka.Tarian ini menggunakan properti “gaba-gaba” (bagian tangkai dari pohon sagu/rumbia sebagai makanan khas rakyat Maluku, dan dalam dialek Maluku disebut “jaga sagu”) Diiringi alat musik tradisional rakyat Maluku, yaitu : Tifa, Suling Bambu, Ukulele, dan Gitar.

Kombinasi pola lantai, gerak, ritme musik, memperkuat ungkapan betapa seluruh masyarakat setempat merasa senang dengan hadirnya tamu kehormatan. Tarian yang dimainkan begitu serasi, energik, dan dinamis, memancarkan aura persahabatan, perdamaian, dan kebersamaan. Jadi, melihat tarian mereka adalah juga menengok jiwa mereka yang tulus


dikutip dari :
http://www.indonesia.go.id/in/provinsi-maluku/sosial-budaya/10698-tari-orlapei.html

Danau Sole



Description: http://www.serambagiantimurkab.go.id/imgpopup.asp?id=95
Danau Sole berada di Desa Amarsekaru, Kecamatan Pulau Gorom. Objek wisata Danau Sole ini sesungguhnya sudah dikenal di seluruh dunia. Wisatawan mancanegara sangat sering berkunjung ke danau air laut ini melalui perjalanan panjang dari negara mereka menggunakan kapal pesiar (CruiseShip).

Wisatawan mancanegara kerapkali menyebut Danau Sole sebagai salah satu danau air laut terunik dan sangat eksotik di dunia. Airnya jernih dan tenang, sehingga sangat cocok untuk renang, mancing, maupun untuk menikmati pemandangan bawah laut (snorkeling & daving). Ini karena Danau Sole merupakan tempat berkumpulnya beragam biota laut, berbagai jenis terumbu karang yang indah dan ratusan jenis ikan. Danau Sole yang eksotik, ditunjang pesonanya juga dengan lingkungan sekitar yang asri dan keramahtamahan penduduk Amarsekaru.

Bagi wisatawan yang telah tiba di Kota Ambon, perjalanan ke Danau Sole di Amarsekaru menggunakan kapal laut Manusela tujuan kota kecamatan Seram Timur, Geser. Bila sudah tiba di Geser, wisatawan melanjutkan perjalanan menggunakan Speed Boot atau Long Boat menuju Amarsekaru, Kecamatan Gorom. Harga tiket kapal Manusela Ambon – Geser Rp. 100.000.-. Sedangkan biaya perjalan Geser – Amarsekaru Rp. 300.000.- bila menumpangi Long Boat dan Rp. 500.000.- bila menumpangi speed Boat. Kalau salah satu diantara kedua jenis ankutan ini disewa, harga sewanya ditentukan berdasarkan kesepakatan melalui negosiasi antara pemilik angkutan dan pemakai

dikutip dari :

Senin, 07 Mei 2012

Adat Pukari






Upacara Adat Pukari Berkati Pendaki Binaiya


Upacara adat merupakan salah satu daya pikat untuk pendaki Binaiya selain keindahan alam bumi rempah-rempah ini. Selain untuk melestarikan budaya Indonesia, ternyata upacara adat mempunyai arti tersendiri bagi warga Pulau Seram.
Desa Selumena adalah desa kecil yang berada di antara Desa Maraina dan Desa Kanikeh yang ditempuh dalam 5 hari perjalanan dari Desa Mosso. Di desa itu kita bisa menyaksikan upacara adat Pukari. Hampir sama dengan upacara adat di Desa Huwalesana, hanya saja Upacara adat Pukari melibatkan semua warga Desa Selumena dan juga ada tarian adatnya. 
Upacara adat Pukari terbilang upacara adat yang sederhana di banding dengan upacara adat di tempat lain. Properti yang di gunakan pun bukan barang-barang yang mewah, hanya kapur, sirih, kinang, dan Tifa. Jika semua properti itu sudah siap, maka upacara adat Pukari pun akan di mulai dengan di tandai suara tabuhan Tifa oleh Bapa Raja Tanah.  Semua peserta upacara akan duduk melingkar di luar tikar yang di tengahnya di letakkan kapur, sirih dan pinang dalam besek bambu. Sambil menabuh Tifa, alat musik tradisional Maluku yang terbuat dari batang pohon yang di kosongi bagian dalamnya dan di tutup dengan kulit rusa di salah satu ujungnya, Bapa raja tanah dan warga akan melantunkan nyanyian yang sarat akan doa. 
Setelah beberapa saat, upacara pun akan di lanjutkan dengan tarian adat yang juga merupakan rangkaian dari Pukari. Gerakan dari tarian ini cukup mudah untuk di ikuti bagi kita yang pemula. Hanya maju, mundur dan ke samping searah putaran jam. jangan lupa membuat lingkaran dan bergandeng tangan dulu dengan kawan samping kanan dan kiri kita sebelum tarian di mulai. Meskipun sederhana, Pukari sangat meriah. Suasana tarian akan semakin riuh saat salah satu penari berteriak melengking "EEEHHHHHAAAA". Teriakan itu rupanya dipercaya warga sebagai pembangkit alam bawah sadar penari agar semakin bersemangat. 
Upacara adat Pukari tidak berhenti pada nyanyian dan tarian saja. Masih ada 1 lagi ritual yang harus di ikuti oleh semua peserta upacara adat ini. Makan sirih dan pinang. Ya, meskipun rasanya sepat dan kurang bersahabat dengan lidah kita, sirih dan pinang harus tetap kita santap. Coba saja meskipun hanya sedikit, itu yang akan warga Selumena bilang saat mengetahui tamunya kesusahan menelan Sirih dan Pinang. 
Itulah Upacara adat Pukari yang di gunakan oleh warga Selumena untuk menyambut tamu, khususnya tamu yang ingin mendaki Gunung Binaiya. Warga percaya pendaki akan di berkati dan di lindungi oleh pencipta alam dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, di luar kepercayaan itu, upacara adat ini lebih sebagai media saya untuk semakin mengenal dan mempelajari salah satu budaya Indonesia yang benar-benar kaya ini. 
Aku Cinta Selumena, Aku Cinta Indonesia!

Dikutip dari :

Jumat, 04 Mei 2012

Desa Kanikeh



Desa Kenikeh terletak di Pulau Seram yang berada di bawah kaki gunung Binaiya, desa ini merupakan desa terakhir tempat persinggahan jika ingin mendaki ke gunung binaiya, di desa ini dapat dilihat gunung bianaiya dengan jelas serta pemandangan yang memanjakan mata dengan struktur topografi desa yang sangat indah serta pekarangan rumah-rumah yang ditumbuhi rumput hias beserta dengan aliran sungai yang mengalir jernih. Bentuk rumah yang sangat sederhana namum memiliki keunikan tersendiri serta terdapat beragam nilai di dalamnya. Ditambah dengan keramah tamahan masyarakat kenikeh yang membuat keakraban dapat terjalin dengan baik
 Sebelum mendaki gunung diwajibkan untuk melakukan upacara adat terlebih dahulu, masyarakat kenikeh sangat menjaga warisan leluhur terdahulu sehingga kearifal lokal yang ada masi terjaga. Pada umumnya masyarakat kenikeh telah memeluk agama Kristen protestan namun mereka masih tetap mempercayai hal-hal takhayul atau yang bersifat gaib.  Begitu banyak acara adat yang ada namun acara tersebut dilakukan pada hari tertentu saja misalanya pada akhir tahun dimana upacara adat ini sangat meriah dan mengundang tamu dari luar, tentunya upacara adat yang dilakukan telah melebur dengan agama yang mereka anut saat ini, tapi tetap kemurniannya masi terjaga.
Mata pencaharian masyarakat kenikeh yaitu berburu, bercocok tanam dan bertani. Hewan yang diburu adalah rusa, ketika mendaki gunung binaiya akan banyak kita jumpai kotoran rusa, hal ini menandai bahwa peyebaran rusa sangat banyak di daerah ini sehingga memudahkan para warga untuk berburu. Biasanya mereka hanya menggunakan jerat atau perangkap yang dipasang di hutan untuk menangkap rusa, karena medan yang begitu terjal da terbuka sehingga agak sulit untuk menggunakan tombak, walaupun demikian ada sebagian kecil juga yang menggunakan tombak tapi di bawah daerah yang datar.  Jika ada buruan yang didapat akan dibagi rata dengan pemburu lainnya sehingga dalam membawanya ke desa menjadi enteng. Dari hasil buruan ini mereka membuat dende yang kemudian mereka bawa ke pantai untuk dijual. Dalam proses pembuatandende ini hampir sama dengan pembuatan ikan asing, daging yang dikeringkan kemudian di beri garam. Hasil buruan inilah yang menjadi penghasilan utama masyarakat kenikeh ini. Dalam bercocok tanam hasilnya hanya untuk kebutuhan pagan sehari-hari, umumnya mereka menanam ubi kayu, patatas (ubi jalar), sagu dll. Dalam hal bertani sebagian masyarakat turun ke gunung dan bertani namun jaraknya sangat jauh dari desa, sehingga hanya sebagian kecil yang menjadi petani.
Di desa kenikeh telah berdiri bagunan  sekolah dasar yang telah ada sejak tahun 1961 menurut Estepanus Hilimau yang merupakan kepalah Sekolah di desa ini. YPPK Kenikeh adalah nama sekolah di desa ini, jumlah guru yang mengajar berjumlah empat orang saja dengan jumlah murid yang sangat sedikit, tahun 2011 ini saja hanya empat orang murid saja yang akan mengikuti Ujian Nasional nantinya, menurut Andi Masauna salah seorang guru yang mengajar di SD YPPK Kenikeh. Bentuk bagunan sekolah yang sederhana dengan fasilitas yang sangat minim sekali, untuk keperluan mengajar saja misalanya membeli kapur atau buku, para guru harus turun ke pantai dengan menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer dengan berjalan kaki, namun hal tersebut bukan menjadi halangan bagi para guru untuk tetap mengajar begitupun sebaliknya para murid tetap antusias untuk tetap mendapatkan pendidikan. Setelah tamat dari sekolah ini ada sebagian kecil saja yang melanjutkan pendidikannya di kota tapi sebagian besarnya menetap dan bekerja mengikuti orang tua mereka masing-masing. Tidak bisa dipungkiri bahwa semangat untuk belajar yang dimiliki oleh warga desa ini utamanya generasi muda sangatlah besar namun mereka memiliki keterbatasan karena bantuan dari pemerintah setempat yang hampir tidak ada. Mungkin karena daerah pedalaman yang memiliki jarak yang jauh serta medan yang sulit untuk dilalui sehingga desa ini seakan-akan diabaikan oleh pemerintah, tapi hal ini bukan menjadi alasan karena setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak dimanapun mereka berada. Sangat disayangkan jika pemerintah setempat tidak memberikan sumbangsi yang besar terhadap desa ini, karena sekolah ini memiliki murid-murid dengan potensi yang bagus.
            Untuk menuju ke desa kenikeh memang agak sulit karena jalur yang dilewati memiliki medan yang sangat melelahkan, bukan hanya jarak yang sangat jauh melainkan juga harus melalui banyak medan berlumpur dan harus ada sungai yang harus disusuri belum lagi sungai besar yang akan disebrangi. Pendakian ataupun tanjakan yang lumayan menguras energi, merupakan medan yang akan sering juga dijumpai, sehingga banyak memerlukan waktu untuk beristrihat. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju desa Kenikeh dari halte Huaulu yang merupakan jalur transportasi terakhir membutuhkan dua hari perjalanan, memang sangat wajar jika memerlukan waktu dua hari melihat medan yang begitu sulitnya untuk dilalui. Menurut kepala adat desa Kenikeh mereka tidak mengharapkan bantuan uang ataupun bantuan logistik dari pemerintah tapi yang mereka harapakan adalah akses transportasi dalam hal ini pembuatan jalan sehingga memudahkan mereka jika ingin ke kota untuk membeli keperluan yang mereka butuhkan dan tidak lagi harus berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh. 

Selasa, 01 Mei 2012

Masjid Wapauwe



















Masjid Wapauwe




Jika bertanya masjid apakah yang tertua di Indonesia? Maka jawabannya adalah Masjid Wapaue di Desa Kaitetu, Maluku Tengah. Masjid ini di bangun pada tahun 1414 M. Selain menjadi masjid tertua, masjid ini juga unik karena material bangunannya semua di ambil dari pohon sagu dan tidak menggunakan paku. Mulai dari atap, dinding, hingga tiangnya semua dari pohon sagu.


Masjid yang berlokasi kecamatan Leihitu kabupaten Maluku Tengah ini masih terlihat asli dan utuh. Masjid ini didirikan pada tahun 1414 Masehi oleh Imam Rijali. Masjid ini terletak di Kaki gunung Wawane dan pertama kali di bangun beratapkan ijuk atau gemutu, dinding terbuat dari rangka kayu dan pelepah rumbiah, penyangga tidak menggunakan paku dan disetiap ujung atap yang berukuran segi empat terdapat ukiran asma Allah SWT dan Muhammad SAW. Pada tahun 1464 Masehi dilakukan perbaikan masjid oleh Imam Is (seorang ulama yang mengembangngkan syiar Islam di Wawane). Pada tahun 1700 masehi pada bagian kubah dipasang tiang berbentuk alif yang terbuat dari kayu Kanjoli. Di masjid ini tersimpan naskah Khutbah Idulfitri serta kitab suci Alquran tertua yang ditulis oleh Nur Cahaya pada tahun 1590 Masehi (seorang murid Imam Rijali), selain itu juga terdapat sebuah kitab berjanji yang menceritakan riwayat Nabi Muhammad SAW, dan juga terdapat sebuah batu serta timbangan kayu untuk menentukan zakat fitrah yang digunakan penduduk asli pada masa itu.

Sumber: 
Direktori masjid Bersejarah
travel.detik.com/aci/readfoto/2011/12/07/162905/1785421/1275/1/masjid-tertua-di-indonesia-dibuat-dari-sagu

Sabtu, 28 April 2012

Indahnya Gunung Binaya, Puncak Tertinggi di Seluruh Maluku (part 1)


Puncak Binaiya merupakan dataran tertinggi yang membentang di Pulau Seram dan masuk ke dalam lingkup Taman Nasional Manusela yang mempunyai luas 189.000 ha. Taman nasional ini cukup unik karena membentang dari ketinggian 0-3.055 mdpl.

Pada tahun 1972 Taman Nasional Manusela dibagi menjadi dua. Pertama, daerah Wae Mual dengan luas 17.500 ha, yang meliputi hutan dataran rendah pada bagian utara. Flora yang hidup pada daerah ini adalah mangrove. Vegetasinya yaitu hutan damar(Agathis alba), Meranti(Shorea sp). Kedua, Wae Nua dengan luas 20.000 ha, yang mencakup perbukitan bagian tengah dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kabipoto dan Markele. Pada tahun 1978 kedua daerah tersebut disatukan menjadi Taman Nasional Manusela.
Di taman nasional ini curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun. Musim hujan terjadi di sepanjang bulan November-April pada bagian utara hingga puncak Binaya. Musim kemarau terjadi di sepanjang bulan Mei-Oktober. Pendakian sebaiknya dilakukan pada musim kemarau dimana cuaca cendrung cerah dan frekwensi badai menurun.
Untuk mencapai Gunung Binaya, pendaki dapat memulai dari Ambon menuju Pelabuhan Tulehu. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menyebrang laut menggunakan jasa speedboat atau kapal ferry menuju Pulau Seram, tepatnya ke Pelabuhan Wahai. Dari Wahai dilanjutkan ke Kanikeh dan menuju base camp 27, yang merupakan sebuah pondokan milik perusahaan kayu.
Di puncak pendaki dapat menikmati indahnya panorama Taman Nasional Manusela yang berbukit-bukit dan dihiasi deburan ombak nun jauh di sisi selatan di antara kabut tipis yang melintas.

Jalur Pendakian:
[ Ambon – Wahai – Kanikeh ] – Kamp27 – Waisomasa – Desa Kanikeh – Wiansela – Waihuhu – Waipuku – Puncak Bainaiya.